• RSS
  • Twitter
  • Linkedin

Sunday, January 17, 2010

Ruwatan di Yogyakarta

Aku baru saja menginjakan kakiku di bandara Adi Sucipto setelah sekitar 1 jam berada dalam pesawat dengan perasaan takut karena pesawat yang aku tumpangi beberapa kali mengalami turbulensi. Dengan langkah berat, aku mengikuti langkah Mba Yuna yang berjalan tepat di depanku. Aku merasa asing di tempat ini, tapi apa boleh buat, sejak ayah dan ibu meninggal aku harus ikut Mba Yuna pindah ke Yogyakarta tempat suaminya bekerja.
Aku benci dengan rencana Mba Yuna untuk tidak akan kembali tinggal di Jakarta. Apalagi dengan alasan yang tidak jelas. Seharusnya dulu aku tidak merestui pernikahan Mba Yuna dengan Mas Yoga yang notabene adalah orang Yogya. Aku pasti akan merasa kehilangan semua teman-temanku, guru-guruku, dan juga sahabatku tercinta yang sudah sejak kecil bersamaku. Namanya Lyra. Aku rindu mereka semua.
Malam pertamaku di Yogya terasa sangat hampa. Angin berhembus kencang saat tiba-tiba ponselku berdering dan mengagetkan lamunanku.
“ Halo… siapa ya? ” tanyaku halus.
“ Vina, ini Lyra. Gimana hari pertamamu disitu? Enak nggak?” Tanya Lyra penasaran.
“ oh… kamu. Nggak sama sekali. Aku kesepian disini. Nggak ada kamu, teman-teman, dan tukang bakso langganan kita.”
“ kamu udah dapat sekolah baru? Kan disana banyak sekolah yang bagus. Nggak jauh beda sama Jakarta.”
“ Paling besok. Mmm… Ra, aku tidur dulu ya. Bye…” aku menutup sambungan telepon-ku dan Lyra.
Setelah mencoba memejamkan mata berkali-kali, akhirnya aku bisa tidur dengan pulas hingga tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 05.15. Dengan enggan aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil air wudhu untuk solat lalu setelah itu aku bergegas mandi.
Aku teringat dengan pertanyaan Lyra tentang sekolah baruku. Kapan ya aku masuk sekolah lagi? Aku harus bertanya pada Mba Yuna sekarang juga.
“ Mba Yuna… Kapan aku sekolah lagi?” teriakku dari kamar.
“ Hari ini juga. Kemarin Mba sudah daftarin kamu ke SMP Bina Raya. Maaf baru kasih tahu sekarang.” Kata Mba yuna santai.
“ Haaaa!!! Kok mendadak gitu sih?? Tanpa bilang ke aku dulu. Aku kan belum beli seragam sama peralatan sekolah lainnya. Gimana sih…” tukasku.
“ Lihat saja di lemarimu. Sudah ada seragam OSIS kan? Nah, kamu pakai itu sekarang. Terus turun buat sarapan bareng Mba Yuna sama Mas Yoga. Jangan lama-lama ya, Na.”
Aku merasa aneh dengan seragam ini. Padahal warnanya sama seperti punyaku yaitu putih dan biru. Bahannya-pun nyaris sama. Hanya nama lokasi sekolah dan logo di dasi yang berbeda. Sangat berbeda.
Dengan malas aku mengambil nasi dan lauk lalu memasukkannya sedikit demi sedikit ke dalam mulutku. Walalupun mataku tidak menatap muka Mba Yuna dan Mas Yoga, tapi aku tahu mereka sedang mentertawakanku. Apakah ada yang aneh atau salah denganku?
“ Na, nanti kamu berangkat sama Mas Yoga ya. Sekalian mas ditunjukin mana kelasmu. Ya, nduk.” Kata Mas Yoga.
Aku hanya menganggukkan kepala tanpa berkata sedikitpun. Aku memilih untuk masuk ke mobil mendahului Mas Yoga. Baru kemudian Mas Yoga menyusulku masuk ke mobil. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam sambil sesekali menengok ke jalanan yang ramai oleh kendaraan. Sama seperti di Jakarta. Ah, aku jadi rindu sama Jakarta.
Akhirnya sampai juga di SMP Bina Raya. Lama aku di mobil hanya untuk memandangi setiap sudut sekolah yang terjangkau oleh mataku. Katanya sih ini sekolah bagus, tapi tak ada yang lebih bagus dari sekolah lamaku. Mas Yoga mengetuk jendela mobil dan mengagetkanku. Enggan bagiku untuk keluar dari mobil. Tapi apa daya pintu mobil sudah terbuka dan Mas Yoga sudah meninggalkanku. Aku hanya diberi tahu untuk masuk ke ruang kepala sekolah oleh Mas Yoga.
Seperti kata Mas Yoga, pertama aku masuk ke ruang kepala sekolah untuk bertanya dimana kelasku. Lalu aku diantar oleh kepala sekolah ke kelas, kalau tidak salah dengar kelas IX D.
Saat aku masuk kelas, semua anak langsung diam dan langsung mengalihkan pandangannya kepadaku. Tuhan, tolong aku…ratapku dalam hati. Aku diberi kesempatan untuk memperkenalkan diriku. Banyak anak yang bertanya padaku tapi aku tidak tahu sama sekali apa yang mereka katakan. Karena mereka bertanya dengan bahasa jawa. Akupun hanya diam saja dan langsung duduk.
Sial. Hari ini adalah pelajaran bahasa jawa. Padahal aku tidak tahu sama sekali tentang bahasa jawa. Yang aku tahu hanya kata ‘durung’, ‘wengi’, dan ‘uwis’. Karena itu kata yang sering diucapkan Mas Yoga.
“ Vina, kamu nda tahu ya tentang boso jowo?” tanya Sarti teman sebangku-ku.
“ Iya. Aku kan bukan orang Yogya. Aku lahir dan besar di Jakarta.” Jawabku dengan sedikit grogi.
“ ya sudah. Ora opo-opo.” Sarti hanya tersenyum.
Untunglah bel istirahat segera berbunyi. Aku jadi segera terbebas dari pelajaran yang memusingkan itu. Sejak obrolan tadi, aku dan Sarti jadi semakin akrab. Sedikit demi sedikit aku bisa melupakan Lyra. Hingga tak terasa sudah 2 minggu aku bersekolah di SMP Bina Raya.
Seperti biasa saat istirahat aku dan Sarti selalu makan bakso. Sarti bercerita kalau sekitar sebulan yag lalu juga ada anak baru dari Jakarta. Namanya Yeni. Aku memang punya teman bernama Yeni di Yogya tapi sepertinya itu bukan Yeni temanku.
Saat sedang asyik mengobrol, ada seorang perempuan yang tiba-tiba menghampiri meja kami. Ternyata dia adalah Yeni, teman Sarti dan aku terkejut saat melihat wajah Yeni karena dia adalah temanku.
“ Yeni… apa kabar?” sapaku ramah.
“ Lho, kamu sekolah disini juga? Nggak nyangka bisa ketemu lagi, ya.” Jawab Yeni. Dia menjabat tanganku erat.
“ wis wis, salamannya nanti saja. Ono opo, Yen?” tangan Sarti memisahkan tanganku dan tangan Yeni.
“ oh ya… mmm, Ti besok malam minggu kamu datang ke rumahku ya.” Kata Yeni.
“ memang ada apa?”
“ keponakanku mau diruwat. Kamu sama Vina datang ya…” lalu Yeni meninggalkan kami.
Ruwatan. Apa itu ruwatan? Aku tak tahu sama sekali. Pertanyaan itu memenuhi otakku. Sepertinya aku lebih memilih tidak ikut menghadiri acara tu karena aku takut aku hanya akan jadi penghalang saja. Karena aku tak tahu sama sekali tentang ruwatan. Tapi, akan aku pikirkan sekali lagi.

Hari sabtu malam.
Aku bingung memutuskan apakah aku akan ikut ke tempat Yeni bersama Sarti atau tidak. Di sisi lain aku ingin ikut tapi ada sesuatu yang menghalangiku. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk ikut Sarti melihat upacara ruwatan. Aku segera berganti baju dan menemui Sarti.
“ ayo, Ti. Kita naik mobil Mas Yoga saja ya. Nanti kita terlambat.” Ajakku.
Tak lama kemudian kami tiba di rumah Yeni. Banyak orang yang sudah berkumpul disitu. Ada sebuah panggung besar dan terdapat wayang yang ditancapkan di pelepah pisang. Yeni langsung menemui kami dan mengajak kami duduk. Acarapun dimulai.
Aku masih tak tahu apa itu ruwatan. Akupun bertanya pada Sarti.
“ Ti, ruwatan itu apa sih?” tanyaku heran.
“ kamu belum tahu? Ruwatan itu adalah sebuah acara adat yang fungsinya membuat bersih jiwa dan raga supaya hidupnya tentram dan luput dari bahaya.” Terang Sarti. namun aku masih belum puas dengan jawabannya.
“ lalu, apa hubungannya sama acara wayang itu?”
“ oh wayang itu. Wayang itu nanti akan menceritakan tentang pertarungan Batharakala melawan Murwakala sebagai lakon. Anak yang diruwat adalah anak sukerta. Yaitu anak yang menjadi mangsa Batharakala. Yang termasuk anak sukerta seperti ‘uger-uger lawang’ yaitu anak 2 laki-laki semua, seperti keponakan Yeni itu.”
Aku terdiam sejenak. Aku mengerti sekarang apa yang dimaksud ruwatan. Tapi, aku sedikit bingung tentang fungsi ruwatan. Bukannya jika ingin membersihkan jiwa dan raga harus pada Tuhan? Aku bertanya sekali lagi pada Sarti.
“ Ti, kalau mau membersihkan jiwa dan raga harus berdoa pada Tuhan, kan? Bukannya mengadakan acara ruwatan seperti ini?” tanyau dengan hati-hati. Agar Sarti tak tersinggung.
“ memang benar. Lagipula ini hanya kepercayaan wong jawa. Ini juga sudah menjadi tradisi turun temurun dari dulu. Jadi, sulit untuk menghapusnya. Biarkan ini menjadi ciri khas daerah wong jawa. Kita ora bisa melarang.”
Betul kata Sarti. ini sudah merupakan tradisi orang jawa. Tak bisa seenaknya dihapus. Ini juga akan menjadi ciri khas tersendiri. Ruwatan juga merupakan budaya bangsa yang wajib dilestarikan. Kamipun melanjutkan menonton wayang hingga selesai. Aku tak salah mengambil keputusan. Aku jadi tahu tentang ruwatan. Jika saja aku tak ikut Sarti, aku tak akan tahu apa itu ruwatan.

0 komentar: